Pendapatan Negara yang Signifikan
Minyak dan gas bumi merupakan sumber pendapatan utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Pendapatan yang diperoleh dari sektor ini melalui pajak, royalti, dan bagi hasil dari kegiatan produksi dan ekspor menjadi salah satu pilar utama dalam penerimaan negara. Dengan pendapatan yang stabil dan besar, pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur kritis, seperti jalan raya, pelabuhan, dan sekolah, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program-program sosial dan ekonomi.
Sebagai sumber energi utama, minyak dan gas bumi memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Baik untuk sektor industri, transportasi, maupun rumah tangga, energi dari minyak dan gas bumi mendukung berbagai kegiatan ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketersediaan energi yang memadai dan stabil dari sumber ini adalah faktor krusial dalam memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Investasi dan Teknologi
Sektor minyak dan gas bumi menarik investasi dalam bidang eksplorasi, produksi, dan pengolahan yang membawa teknologi canggih dan inovasi baru. Investasi ini tidak hanya meningkatkan kapasitas teknologi dalam negeri, tetapi juga memberikan peluang bagi pertumbuhan sektor-sektor terkait lainnya. Pengembangan teknologi dalam ekstraksi dan pengelolaan minyak dan gas bumi juga berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi dan keberlanjutan lingkungan dalam proses produksi.
Banyak pihak menganggap bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik secara online dapat ditujukan kepada satu kelompok masyarakat, suku, atau agama. Bahkan, ada juga orang yang merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan hanya karena ada muatan penghinaan yang tidak mencantumkan identitasnya.
Dari segi historis penyusunan UU ITE, Pasal 27 UU ITE dibangun berdasarkan asas dan konstruksi yang telah berdiri dalam KUHP. Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada pemahaman dari KUHP, sehingga dalam UU ITE tidak perlu dijelaskan konsep atau ruang lingkup kesusilaan, perjudian, pengancaman dan pemerasan, maupun penghinaan dan pencemaran nama baik. Itu juga berarti, Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada KUHP.
Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pada esensinya penghinaan atau pencemaran nama baik ialah menyerang kehormatan, nama baik, atau martabat seseorang.Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP. Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Konstitusi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dimungkinkan diterapkan terhadap organisasi atau institusi.
Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. (Sitompul, 2012)
Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.
Dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. (Sitompul, 2012)
Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi tertentu dan bukan kepada pribadi hukum, bukan pula ditujukan kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Identitas dapat berupa gambar (foto), username, riwayat hidup seseorang, atau informasi lain lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud. Dalam hal identitas yang dipermasalahkan bukanlah identitas asli maka perlu ditentukan bahwa identitas tersebut memang mengacu pada korban, dan bukan pada orang lain. Identitas tersebut – meskipun bukan identitas asli – diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu pada orang yang dimaksud (korban) dan bukan orang lain. Dalam hal pelaku tidak menuliskan identitas kepada siapa kalimat tersebut ditujukan, maka konten tersebut bukan merupakan penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apabila ada seseorang yang merasa bahwa kalimat tersebut ditujukan untuk dirinya maka – kecuali pelaku mengaku demikian – diperlukan usaha yang besar untuk mengaitkan antara konten serta tujuan penulisannya dan korban.
Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi.
Lebih lanjut, secara pragmatis, dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya korban yang dapat merasakan bagian mana dari suatu pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baiknya. Tidak ada seorangpun yang dapat mewakili korban yang dapat menyatakan sama seperti yang dirasakan oleh korban tanpa korban sendiri yang memberitahukan kepadanya secara langsung. Itulah sebabnya, secara pragmatis, pengurus atau wakil resmi dari institusi atau badan usaha tidak mungkin mengatakan mana dari pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baik instansi atau institusi – sebagai korban.
Kesimpulannya, menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE selain ditujukan terhadap manusia sebagaimana dimaksudkan pada pembentukannya sejak awal, merupakan suatu penyimpangan yang memiliki konsekuensi baik secara hukum maupun secara sosial dan kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia yang lain, khususnya kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech)
Sumber: Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.
Mubadalah.id – Jika merujuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang perkawinan, maka perkawinan bukan hanya sekedar ikatan saja, melainkan sebuah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan dengan tujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga (relasi suami dan istri) yang sakinah, mawadah, dan rahmah.
Setiap suami istri yang sudah terikat dalam sebuah ikatan perkawinan memiliki kewajiban luhur yang diamanatkan lewat pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa pasangan suami istri memiliki kewajiban menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Hak dan kewajiban suami istri erat kaitannya dengan kedudukan dalam rumah tangga. Karena kedua hal tersebut berimplikasi dengan pembagian peran masing-masing dalam rumah tangga. Undang-undang perkawinan telah membagi antara peran suami dan peran istri dalam keluarga. Dalam pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Sebagai kepala keluarga, suami dibebankan tanggung jawab mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Adapun sebagai ibu rumah tangga seorang istri dibabani tugas untuk mengurus urusan domestik yang mencakup dapur, sumur, dan kasur.
Ketetapan tersebut jauh berbeda dengan realitas yang sebenarnya ada dalam masyarakat. Karena dalam realitasnya tidak semua suami mampu menafkahi sebagaimana seorang kepala keluarga. Sebagian keluarga ada yang kebutuhannya tercukupi oleh nafkah bersama, bahkan ada yang justru seorang istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Ini menunjukan bahwa dalam mengemban pekerjaan itu tidak selalu lancar. Dalam kesempatan lain terkadang seorang suami mengalami masa-masa sulit dalam urusan keuangannya yang tidak jarang harus melibatkan bantuan istri demi kelangsungan keluarga.
Realitas seperti ini, saya temukan pada saat melaksanakan Praktik Islamologi Terapan (PIT) ISIF di Desa Kepunduan Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon. Di Kepunduan kebanyakan seorang istri tidak hanya berkecimpung di sektor domestik. Tetapi juga ikut serta bergulat di sektor publik sebagai pencari nafkah. Mereka bekerja di home industry kasur dan anyaman rotan, berjualan nasi uduk, bahkan menjadi buruh batu alam.
Salah satu warga Desa Kepunduan yang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga saja tetapi juga bekerja mencari nafkah adalah ibu Marni (nama samaran).
Ibu Marni mulai bekerja mencari nafkah pada akhir tahun 2020. Waktu itu harga kebutuhan pokok melonjak tinggi. Sedangkan pendapatan suaminya hasil kerja sebagai buruh batu alam tidak bertambah. Hal ini menyebabkan semua kebutuhan keluarga yang mencakup sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya tidak tercukupi.
Menyikapi hal itu, demi kelangsungan keluarga, Ibu Marni bekerja disalah satu home industry yang terdapat di Desa Kepunduan. Dengan gaji yang dihasilkan dari keringat Ibu Marni, keadaan keluarga yang tengah mengalami pailit karena beberapa kebutuhannya tidak tercukupi akhirnya normal kembali.
Melihat inisiatif yang Ibu Marni lakukan dalam mengatasi kepailitan keuangan keluarga, suaminya pun berinisiatif membantu kerja-kerja domestik yang biasanya Ibu Marni lakukan.
Akibat kepailitan keuangan keluarga, pola relasi suami istri di keluarga Ibu Marni melahirkan sebuah relasi kesalingan dan kerja sama. Tanggung jawab nafkah dan domestik yang awalnya menjadi beban masing-masing berubah menjadi tanggung jawab bersama. Dengan relasi seperti ini, beban-beban keluarga akan terasa ringan karena mereka kerjakan secara bersama-sama sehingga rumah tangga akan terasa harmonis.
Maka dari itu, mengenai pasal 31 ayat (3) undang-undang no. 1 tahun 1974 tersebut dalam praktiknya sangat relatif dan menyesuaikan dengan kemampuan setiap pasangan suami istri. Termasuk dalam hal nafkah, istri pun boleh bekerja mencari nafkah.
Hal ini selaras dengan pendapat Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan Bukan Makhluk Domestik. Menurutnya, bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah sesuatu yang baik bagi laki-laki maupun perempuan. []
Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.
Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.
%PDF-1.5 %âãÏÓ 3 0 obj << /Type /Page /Parent 2 0 R /Resources << /ProcSet [/PDF /Text ] /Font << /F1 7 0 R /F2 10 0 R /F3 13 0 R /F4 16 0 R /F5 19 0 R /F6 22 0 R /F7 25 0 R >> >> /MediaBox [0 0 595 842] /Contents 4 0 R /Annots [5 0 R ] >> endobj 4 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 6674 >> stream ȳ^%óŒ°ÅŒ‹ê«ðÛå™òEycCvQjˆ~D•–L2qÿפšÝ³ E/XeŒÇðw‘¶ÔÚˆ–…+í¯«Ì_ZÍ�ÿê~Òg–�/¾áå¶ÂÕD£¹šß4 3{/öÜ!PŒÎYüñDÞ§à$Åœ�vÐÀNí.]ÐïLgU£BD1€I†„¼¼%uÅ”’þÚ†9Ô¶‰gÓ¼ÝÂ,‡”25ð/%WwED…fñb.ee· ’çêexoŽ¢ác+Ëb©lê�1²À> ¯»Ä¡Þº!¶ ñcp—�ál·ŒŽA;¦â˜GÙûÈò®ÿ;-t™ä8u+·—ïy²™WëÀ÷!ºI/ƒDSkËG¤��N,ˆ†#ùk¥e¥XøŽ &³«¶éÅó}¯à–YXfý>É,mœ}O—/`~ ßüìQÅ´€±žÈhÛªÂ%‘’ví;›rëÞ#ã†ûî�6˜Ô{8ߪaz_kSnWÏn4(Åà—jK¶h<ú°Ô£ý®nEè޽ú¨hv'${t£ÊfBº_`XÌgÇ‚S�àq`¿€„±ÑÛ¨‡p&ì™É¯Ô–Ûߊ£QB“冨ƒ%Z.ÞH)‰_2‘F¥ËBœ’ µºß<ÙÖNÒ,ïæûiÏ…´Ê}×·2?Ïk$VÄ0²WßðZ þœ*#ÌgéÎÆ÷Þû'7/Ï»÷§}Äx’²1C©ë®<ë-ÚÍŒ¾smo¯ø÷ï5ÄOs#�ºÅðEVÅ#È»Õ×åÿ´sm ãl¨Þ¢ ž ®ÂDu «Ÿ¼éˆ0“J ç%’C-Ú! Š3Š±Ó;½JhóÀôùËÂ:Htrñ_gF>~´Fûˆât!u x÷VÑ› +R<ŸlÀy1I¥}îrüãJ÷';t¤0ËxJ!ñöŸÙ)yÍßdá&Þ^�žh6p£ì•ønë+_žŽöæTÿ ǵμ?‘!ê.Z„c‘s‹kªxØ{)û_$ÅWçÃo:-ØòrÝžïÄ¢j¸¥›•ëi AºI[«ÐAQ–›Òµ�Zà¼gqiç:îð`~ p7i²ÑÇEhÂõ'ê…Y^ÿWÇ/„]uŽ7LJÐœH'xíä��:鬋ÊxïŒ1!åÔéð€ ¦á .ïöËÚ7‡e‡ p}ßÚ ®î~\©Nºè—¤V¸�QîˆÄ¼¨´|ÛüFn8~ÞÞ¯Ÿ_Qçšg™¡XíýuÐäÔuo0ºÛúE+¨µÑþâüâQ[ÐÊMy°%fk¸§¦êóœ}‹”#ç2Ì9õCæùP�ßœ�é0°OÌžÎo¼9x€Û•¹]el²—þ©ú·Î¬�Óx óééa²tBX?.c]J3Û²ËÛKãÓ»|O‰ß½¾�!°Ž~‚ƒðÖatÝm¡úÜƃ^6LK. ˆK©Œœö´«8Ú•îªxˆÊ-ÜJ(Y(5i�õ¨ŽòÏ_¾Ý�u“Íšw¶h¼X}6öðDp®\Šø£ñG¾ U¤¾šÍ5*Ñ ùHþ¸¨�èyeóŠ›k–UïûdPœúFC–×ÁÒlÖHsD`ð@©Å™ßkøŸÁ> š]^C·œd‘Ï`N_ óÖ…v´.Á¯ª”ýáp¸HS¡j¨ð�c®hÈå¦íòÏÀ€ 0k ùœŸ¾d@-§0t–C‹ÏëäC±G[zåE‰ÕÝD ̾í‚(iyÉL1´€=iÝ/DˆØg‰«J—@+?p! d ðÁÍm{hr“Ž3ÔŧNÂi{e¸±sAjµ�çPS€ìmi½“µ]e°EÀÇŒ¶Ò½â¢�’�ïi¼,˜lpÐà{eæHzdß+«ÔçÿE5ùo½ØÇàÚB?kЉEs™´;ƒÊ<À^Àµù©\?ÃmµÑ¾7JQÇ&ÇR¶¦v7K§ŽÖ'ÉêpOÍ(°\i
Peningkatan Standar Hidup Masyarakat
Pendapatan yang diperoleh dari sektor minyak dan gas bumi dapat dialokasikan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, melalui program-program pembangunan sosial dan ekonomi. Ini termasuk investasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang membantu meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Dengan demikian, manfaat ekonomi dari sektor ini tidak hanya dirasakan oleh pemerintah atau industri, tetapi juga secara langsung oleh masyarakat luas.
Pengembangan Infrastruktur dan Industri
Pendapatan yang diperoleh dari sektor minyak dan gas bumi juga digunakan untuk pengembangan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur seperti jaringan transportasi dan fasilitas telekomunikasi tidak hanya meningkatkan konektivitas antarwilayah, tetapi juga memperluas akses terhadap pasar dan sumber daya bagi industri lokal. Selain itu, sektor ini mendorong pertumbuhan industri terkait seperti industri pengolahan, petrokimia, dan manufaktur, yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Diversifikasi Energi dan Kedaulatan Energi
Pendapatan yang diperoleh dari minyak dan gas bumi dapat digunakan untuk mendiversifikasi sumber energi nasional. Hal ini termasuk pengembangan energi terbarukan, dan peningkatan efisiensi energi guna mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Diversifikasi energi ini penting untuk mengurangi risiko terhadap fluktuasi harga energi global dan meningkatkan kedaulatan energi nasional, yang merupakan aspek penting dari kebijakan energi suatu negara.